oleh: dr. Indah Aprianti Putri, Sp.S, MSc
Penyakit stroke, berdasarkan hasil Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018, telah menjadi penyebab kematian nomor satu di Indonesia. Dominasinya menggeser posisi penyakit jantung yang selama ini ditakutkan karena bisa berakibat pada kematian mendadak. Angka kejadian (prevalensi) penyakit ini bahkan terus meningkat dari tahun ke tahun. Angka kematian dan kecacatan akibat stroke di Indonesia yang masih menempati urutan pertama ini menjadi sebuah tantangan bagi semua lintas sektor dalam bingkai kesehatan untuk berpikir dan bertindak secara cepat, tepat, dan tentunya membutuhkan kerjasama dari semua pihak yang terlibat. Stroke yang dialami oleh seseorang dapat berupa stroke penyumbatan atau stroke perdarahan namun dominan dari data menyebutkan 80% pasien adalah disebabkan karena stroke penyumbatan.
Rentan Faktor Risiko
Pemicu utama penyakit stroke tersebut adalah usia, tekanan darah tinggi, kencing manis, tingginya kadar kolesterol, gangguan irama jantung, kurangnya olahraga, kegemukan, stres, autoimun dan pengentalan darah. Faktor-faktor risiko ini kenyataannya sangat mudah berkembang tidak hanya di perkotaan , namun juga di pedesaan. Menjamurnya penjualan makanan cepat saji dengan harga miring dan meluasnya kebiasaan merokok—bahkan hingga ke kelompok usia muda dan anak-anak adalah dua diantara berbagai kondisi yang dapat mempercepat perkembangan faktor-faktor risiko yang dimaksud.
Data Survei sosieal ekonomi nasional (Susenas 2016) menunjukkan bahwa porsi belanja rokok mencapai 11 persen dari total pengeluaran bulanan penduduk miskin, baik di perkotaan maupun perdesaan. Dari survei terhadap sekitar 176 ribu rumah tangga di kawasan kumuh perkotaan di Indonesia, Semba et al (2006) juga menemukan bukti bahwa tiga dari lima kepala rumah-tangga miskin adalah perokok aktif. Situasinya tentu akan menjadi lebih buruk jika penduduk miskin mengalami stres dan depresi terselubung akibat himpitan ekonomi dan kualitas lingkungan tempat tinggal yang kurang layak.
Selain persoalan perilaku, kualitas lingkungan dan keterbatasan akses pada informasi kesehatan, kerentanan penduduk miskin terhadap stroke juga berkaitan langsung dengan risiko pasca stroke serta biaya penanganannya. Jika sederhananya pengidap penyakit jantung memiliki dua peluang setelah ditangani, yaitu terselamatkan atau meninggal dunia, dalam kasus stroke pasien memiliki kemungkinan ketiga yaitu kecacatan akibat kelainan saraf di otak. Bagi pasien, kecacatan ini berisiko menurunkan produktivitas dan kualitas hidup karena aktivitas fisik menjadi terbatas dan menimbulkan beban mental bagi pasien dan keluarga. Biaya yang juga harus dikeluarkan oleh pasien atau keluarganya untuk menangani kecacatan tersebut dalam jangka panjang juga harus diperhitungkan. Jika stroke dialami oleh seseorang yang merupakan tulang-punggung keluarga, kehilangan produktivitas untuk bekerja akan menimbulkan masalah besar bagi ekonomi keluarga yang bersangkutan karena hilangnya sumber penghasilan.