Penanganan komprehensif dibutuhkan untuk mengatasi tantangan penyakit stroke yang mengintai dalam kehidupan sehari-hari
Individu pasca stroke (IPS) sesungguhnya memiliki peluang sembuh sempurna. Terutama karena dalam dua puluh tahun terakhir telah berkembang suatu teknik pengobatan terbaru untuk menghancurkan bekuan darah di pembuluh darah otak. Teknik ini, yang awal mulanya berkembang di Amerika Serikat (1998) dan Eropa (2002), dilakukan dengan cara pemberian obat melalui suntikan untuk menghancurkan bekuan darah penyebab stroke dalam waktu maksimal 4.5 jam sejak munculnya gejala stroke. Jika tindakan ini ternyata belum efektif, prosedur selanjutnya yang dapat ditempuh adalah pengambilan bekuan darah melalui teknik trombektomi: suatu prosedur penanganan yang berkembang pesat sejak tahun 2015 setelah beberapa studi lintas negara—yakni MR.CLEAN, EXTEND-IA, REVASCAT, PRIME SWIFT, dan ESCAPE—memberikan hasil yang memuaskan untuk pasien stroke dengan waktu munculnya gejala stroke berkisar antara 6-12 jam.
Dengan kombinasi teknik pengobatan ini, serangan stroke diharapkan tidak menimbulkan gejala sisa (kecacatan) dan pasien sembuh sempurna. Sayangnya, mayoritas pasien stroke yang datang untuk berobat ke dokter atau rumah sakit sudah dalam kondisi mengalami kelainan saraf, atau sudah melebihi batas waktu untuk dapat dilakukannya pengobatan tersebut diatas.
Selain dari sisi minimnya pengetahuan masyarakat, tantangan besar juga dialami di sisi rumah sakit. Menurut hemat penulis, penanganan stroke di Indonesia dapat dilakukan dalam suatu sistem pelayanan yang terpadu secara berjenjang. Model ini dapat mulai dikembangkan dari Jakarta, yang relatif maju dalam faktor ketersediaan rumah sakit dan sumber daya pendukungnya.
Sistem pelayanan berjenjang yang terpadu juga akan membawa manfaat bagi pasien dan keluarga. Jika pasien datang ke rumah sakit yang tepat, pada waktu yang tepat, dan ditangani dengan teknik pengobatan yang tepat (3Tepat), maka peluang kesembuhan pasien akan lebih besar dan terhindarkan dari risiko kecacatan yang berat. Sistem ini juga bisa menghemat waktu perawatan pasien di rumah sakit sehingga menghemat biaya bagi pasien dan keluarganya.
Isu strategis ini semestinya menjadi perhatian utama pemerintah dan terutama BPJS. BPJS harus mulai memberikan perhatian pada pembenahan sistem pelayanan di rumah sakit. Khusus dalam mengelola hubungan dengan pihak rumah sakit, BPJS harus lebih mengedepankan paradigma sebagai “fasilitasor”,bukan“inspektor”. Alih-alih “mengawasi” kecurangan rumah sakit dalam penentuan diagnosa penyakit oleh dokter dan tindakan medis yang diberikan , BPJS harus lebih intensif membantu rumah sakit untuk melakukan identifikasi terhadap sumberdaya, kompetensi, keunggulan, dan segmen pelayanannya, sebagai dasar optimalisasi peran masing-masing rumah sakit di dalam sebuah sistem pelayanan yang terpadu. Rumah sakit dan BPJS harus menjadi mitra kerja untuk mewujudkan INDONESIA yang sehat dan mandiri.